Satu meja
Bertemu seorang akademisi, aktivis, penulis dan juga hakim itu sebuah kesempatan langka. Saya sudah lama tak bertatap muka dengan sosok ini. Dia adalah DR H Taqwaddin, SE, MS. Dosen, pakar hukum yang juga dosen Universitas Syiah Kuala. Dalam beberapa tahun terakhir dia seorang Hakim Tinggi Ad Hoc Tipikor di Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Pada Kamis lalu, saya bersua dengan belaiu di Sultan Selim Cafe. Sebuah tempat yang hangat dan menyenangkan. Posisi di samping kantor Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Saat saya tiba, Pak Taqwaddin bersama rekannya sesama Hakim Tipikor. Namanya, Firmansyah, SH, MH.
Saya tak ingat, sudah entah berapa lama kami tidak bertatap muka. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, melipat jarak tanpa suara. Selama ini, komunikasi kami hanya sebatas layar, lewat WhatsApp, Sesekali berbagi tulisan, atau berdiskusi ringan soal isu-isu aktual yang mencuri perhatian.
Makan siang
Kamis siang 3 Juli lalu, kami akhirnya duduk bersama. Bertemu langsung. Dr. Taqwaddin, yang saya kenal sejak lama sebagai akademisi dan aktivis hukum serta hak asasi manusia. Ia tampak tetap seperti dulu: tenang, bersahaja, dan penuh semangat. Ia bersama hakim Firmansyah menyapa saya dengan ramah dan langsung mengalirkan suasana akrab.
Keduanya sedang membahas soal traveling DR Taqwaddin bersama keluarga dan rombongan ke Korea Selatan dan Brunai Darussalam. Bang Firman sekali-kali memberi komentar bernada tanya, soal foto yang dilihatkan. Gilaran DR Taqwaddin yang menjelaskan. Begitulah seterusnya, sembari ditimpangi dengan celotehan saya.
Ketika menyebutkan kesibukannya kini sebagai Hakim AdHoc di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, saya bisa menangkap bahwa amanah itu ia emban dengan kesungguhan, tanpa kehilangan jiwa intelektualnya. Hal yang selalu saya kagumi darinya adalah konsistensinya dalam menulis.
Di tengah padatnya tugas kehakiman, ia tetap rutin menulis opini di media. Gayanya khas, tidak berjarak, mengalir apa adanya, namun tetap tajam dan membumi. "Opini saya yang tayang di Serambi kemarin, itu saya tulis di Korea," ujarnya pada saya.
Kami pun terlibat perbincangan banyak hal: dari soal hukum dan dinamika sosial-politik, hingga perbincangan ringan soal menulis dibawah amukan Artificial Intelligence alias AI bin kecerdasan buatan. Semuanya terasa cair dan menyenangkan, jauh dari kesan formal.
Serius
Sebelum siang dan matahari benar-benar sejajar dengan kepala. Rekan Bang Firman tiba. Keduanya pasangan suami istri. Sang pria mantan pengawai negeri di DKI Jakarta. Istrinya mantan karyawan bank yang juga anak mantan Bupati Aceh Timur, Drs. T. M. Bachrum. Saya tak ingat nama keduanya. Yang saya ingat ia sedang punya program menggarap usaha perkebunan Aren.
Potensinya jauh lebih baik dibandingkan Sawit. Pangsa pasar Aren juga bakal lebih menjanjikan ke depan. Kabarnya, pengusaha lingkaran istana akan turun tangan. Mencari dan membuka lahan serta membuat pembudidayaan.
![]() | ![]() |
---|
Bagi saya, pertemuan itu bukan hanya melepas rindu. Ia menjadi pengingat bahwa di balik semua peran dan jabatan, ada sisi kemanusiaan yang harus terus dirawat, dengan obrolan hangat, dengan tulisan, dan tentu saja, dengan pertemuan kecil yang penuh makna seperti ini.
Pertemuan kami diakhir dengan makan siang. Ternyata, krispi juga.

https://x.com/steemunaa/status/1944638456698941929
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
You have been supported by the Team 04:
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit