Hati ku gelisah. Beribu rasa berkecamuk di dalam dada. Sementara hujan turun pelan di stasiun sore itu. Seolah langit pun menangisi perpisahan kami. Aku berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Aku ingin menahan waktu yang terus berlari. Senyumnya pucat, matanya sembab. Namun tetap menatapku seakan ingin menanamkan wajahku dalam ingatannya selamanya.
“Jaga dirimu,” ucapku pelan. Dia hanya mengangguk, bibirnya gemetar. Kami berpelukan singkat—terlalu singkat untuk menenangkan gejolak di dada—lalu aku melangkah masuk ke dalam bus. Dari balik jendela, kulihat tubuhnya bergeming, menatapku, seolah setiap detik keberangkatan ini adalah ujian terberat yang pernah ada.
Bus yang kutumpangi bergerak, dan jarak mulai memisahkan kami. Aku tak tahu mengapa dadaku terasa sesak, seperti ada firasat buruk yang berbisik di sudut hatiku. Namun aku menepisnya. Aku percaya, ini hanya perpisahan sementara. Aku berjanji akan kembali, secepat mungkin.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku sibuk menata hidup, mengirim pesan setiap malam, menelpon setiap waktu senggang. Balasannya kadang datang, kadang tidak. Dia bilang baik-baik saja, hanya rindu yang kian menyesakkan. Aku percaya, dan terus memelihara janji: pulang, memeluknya lagi.
Sampai hari itu datang—hari yang memutuskan semua harapan. Telepon berdering, suara asing di seberang sana, membawa kabar yang membuat dunia runtuh di kakiku. Sebuah kecelakaan, begitu mereka menyebutnya. Jalan licin, hujan deras, dan nyawanya melayang secepat desir angin.
Aku tak mampu berkata-kata. Telepon terlepas dari tanganku, tubuhku lunglai. Dalam kepalaku, hanya ada wajahnya—senyuman di stasiun, lambaian tangannya yang perlahan menghilang, dan tatapan matanya yang seolah meminta: jangan pergi terlalu lama.
Aku kembali ke kota itu, tapi bukan untuk menepati janji. Aku kembali untuk berdiri di depan pusaranya, membawa setangkai bunga dan sejuta penyesalan. Langit mendung, sama seperti hari kami berpisah. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku berbicara pada batu dingin, berharap suaraku menembus batas dunia.
“Maaf,” bisikku, suara serak menyayat udara. “Aku tak sempat datang… saat kau masih menunggu.”
Aku duduk di sana, lama, sampai hujan turun lagi. Di dalam tetes air itu, aku seakan mendengar namaku dipanggil, samar, dari balik dunia yang tak bisa kucapai. Aku meraih udara kosong, mencoba memeluk bayang yang tak ada.
Kini yang tersisa hanya kenangan: genggaman terakhir, pelukan singkat, dan janji yang tak pernah kutepati. Jarak memang memisahkan kami dulu, tapi kini yang memisahkan adalah keabadian. Dan aku… akan terus hidup dengan rindu yang tak akan pernah menemukan pelabuhan.
Karena dia telah pergi, selamanya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hana meuhoe-hoe tingat teuh wate long baca alur cerita pak Zainal. Loen yakin pasti kisah nyoe dari pengalaman yang pak Zainal alami. Segala do'a-do'a baik untuknya telah tiada.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
peudeh that cerita nyoe. bek itupue le bang @ayijufridar bang @midiagam beh. male lon
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Hahaha, kageutupu hare nyan, sebab kaneu sebut nan geuh.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Cerpen Delapan & Delapan nyoe? Nyan kisah dipeuplung panggang jameun....
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit